IWD 2024 Gaungkan Hak Perempuan dan Kelompok Rentan

Redaksi Suara Mahasiswa · 10 Maret 2024
4 menit

Di tengah hiruk pikuk lalu lintas kendaraan dan lalu-lalang kehidupan perkotaan pada Jumat (8/3), ingar bingar tuntutan dan harapan terdengar dari suatu barisan perempuan di sepanjang jalan menuju kawasan Monumen Nasional (Monas). Mereka melakukan aksi bersama dalam rangka Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) 2024. Selain perempuan, peserta aksi juga terdiri dari pria dan transpuan. Tidak hanya inklusif secara gender, para massa aksi juga terdiri atas para penyandang disabilitas, lansia, dan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Mereka bersama-sama menyerukan suaranya dalam aksi bertajuk “Perempuan Indonesia Geruduk Istana, Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!” yang diinisiasi oleh Aliansi Perempuan Indonesia.

Aksi bersama ini terselenggara dalam bentuk longmars dari titik kumpul di Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) ke titik aksi di Patung Merak. Selama perjalanan, para massa aksi menggaungkan slogan utama aksi ini, yaitu “Hidup Perempuan Indonesia, Adili Jokowi!” Berbagai properti aksi juga turut mendampingi perjalanan mereka, seperti poster tuntutan dan tangkai bunga putih sebagai simbol harapan.

Dari semua tuntutan yang dibawa oleh ratusan massa aksi dan puluhan lembaga, ada tiga tuntutan utama yang menjadi sorotan dalam aksi IWD 2024 tersebut, yaitu:

  1. Tuntutan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT),
  2. Tuntutan penurunan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan
  3. Tuntutan pemenuhan kuota keterwakilan 30% perempuan dalam politik, khususnya Pemilu 2024.

Ketiga tuntutan tersebut menjadi fokus tuntutan aksi karena ketiganya memiliki urgensinya masing-masing sebagaimana penuturan Eno Lisa selaku perwakilan koordinator aksi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

“Untuk tuntutan pertama; (urgensinya) karena itu (adalah) salah satu hal yang sangat urgent, ya, yang sedang kita upayakan (selama) lebih dari dua dekade, (tetapi) itu (RUU PRT) belum (juga) disahkan,” tuturnya.

“Kemudian (tuntutan) yang kedua; setelah kita (ber-)kumpul, semua aliansi, (kita) mengumpulkan data (bahwa) walaupun Undang-Undang TPKS sudah disahkan, ternyata masih banyak kasus yang akhirnya luntang-lantung, ya, karena gak jelas peraturannya. Nah, kemudian (tuntutan) yang ketiga; itu jadi salah satu hal yang kita highlight karena di tahun 2024 ini, (pada) Pemilu 2024 kemarin, keterlibatan 30% perempuan itu tidak dipenuhi,” jelas eno.

Lebih lanjut terkait tuntutan utama ketiga, Eno menjelaskan bahwa sebenarnya partai politik yang hendak ikut dalam kontestasi Pemilu 2024 harus memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuan dalam partainya, tetapi mayoritas partai tidak ada yang dapat memenuhi amanat tersebut. Sayangnya, bukannya mendiskualifikasi partai-partai itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) malah tetap meluluskan mereka. Hal itu jelas-jelas mencederai afirmasi UU Pemilu untuk mengupayakan keterwakilan perempuan dan kesetaraan gender dalam penyelenggaran Pemilu. Dengan demikian, kebijakan tersebut justru hanya menempatkan perempuan sebagai objek pelengkap administrasi, bukan untuk benar-benar berkontribusi.

“Kita lihat culture mereka (red: partai politik) adalah hanya mencomot perempuan ketika menjelang pemilu untuk memenuhi kuota saja, tapi tidak benar-benar membenahi untuk kaderisasi politik dan lain sebagainya,” lanjut Eno.

Pers Suara Mahasiswa UI juga berkesempatan mewawancarai Ibu Sumarsih, salah satu penggagas Aksi Kamisan dan ibu dari Bernadinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Atmajaya Jakarta yang menjadi korban penembakan dalam Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Ibu Sumarsih yang gigih memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM menyuarakan perlunya masyarakat untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan, khususnya mengajak perempuan rumah tangga untuk mengambil sikap karena situasi negara sedang tidak baik-baik saja.

"Dalam situasi seperti sekarang, perempuan harus bangkit dan bersatu dalam perjuangan. Kita tidak bisa berharap pada partai politik atau pejabat di kekuasaan, termasuk kepala negara kita. Kita harus bersama-sama mewujudkan reformasi dan demokrasi," ujar Ibu Sumarsih.

Di tengah aksi, Suma UI juga menemukan keberadaan teman-teman pria dalam kerumunan massa aksi. Dalam wawancaranya, mereka mengaku bahwa mereka mengikuti aksi tersebut untuk memperjuangkan kepentingan perempuan serta kelompok rentan dan marginal. Mereka ingin turut menyuarakan keprihatinan, keresahan, serta kekhawatirannya terkait kondisi demokrasi, penegakkan hukum, serta pemenuhan hak-hak dasar para perempuan serta kelompok rentan dan marginal tersebut.

“(Saya ikut aksi) karena saya melihat situasi saat ini sedang tidak baik-baik saja, kondisi demokrasi sedang dalam titik yang terpuruk, khususnya (hal-hal) menyangkut hak perempuan dan kelompok rentan lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan berbagai macam permasalahan, khususnya di bidang penegakkan hukum,” ujar Albert Wirya, dosen Kriminologi UI yang ikut turun ke jalan sebagai peserta aksi.

“Seperti yang disampaikan oleh teman-teman perempuan, kalau hak perempuan, terutama hak dasarnya, belum terpenuhi. Teman-teman disabilitas, perempuan terpidana mati, pemuda dengan kasus narkotika; itu juga masih belum terpenuhi hak dasarnya. Jadi, salah satu alasan saya untuk datang dalam aksi ini (adalah) untuk turut bersolidaritas supaya hak mereka dapat didengar dan dipenuhi oleh pemerintah,” ungkap Aan, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)

Lebih lanjut, para peserta aksi menyampaikan harapan mereka dari dilaksanakannya aksi Hari Perempuan Internasional yang juga menyoroti kondisi politik Indonesia belakangan ini. Dosen Kriminologi UI yang turut mengikuti aksi tersebut menyampaikan harapan agar masyarakat sipil kembali berjejaring dan mengkonsolidasikan gerakan yang siap untuk menghadapi rezim-rezim selanjutnya.

Tak ketinggalan, Rava yang tergabung dalam Cakra Wikara Indonesia juga menuturkan harapannya.

“Semoga, tentunya, kepentingan-kepentingan perempuan bisa diwakilkan. Walaupun pemilu ini gak jelas, semoga kita semua bisa terorganisasi supaya bisa bersama-sama memperjuangkan kepentingan kita, karena kalau secara kolektif, itu pasti lebih bisa punya daya tawar,” ujarnya.

Berbagai tuntutan dan urgensi yang tengah terjadi, khususnya terhadap perempuan di Indonesia mengakibatkan kondisi yang tidak baik-baik saja terkait kesetaraan dan situasi demokrasi. Oleh karena itu, penuntutan digaungkan dari berbagai kalangan masa yang turut andil untuk menyuarakan hak-hak perempuan, gender, juga kelompok rentan dan minoritas pada peringatan Hari Perempuan Internasional.

Teks : Daffa Ulhaq, Heva Kumala, Made Harina

Editor: Jesica Dominiq M.

Foto: Dimas Azizi