Berapa “Harga” dari Magang?: Polemik Ada dan Tiadanya Upah Anak Magang

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Desember 2021
6 menit

Fenomena AI sedang naik daun. Bukan, bukan artificial intelligence, melainkan “anak intern”. Internship atau magang merupakan hal yang sudah ada sejak dulu. Ini disebabkan pihak universitas yang mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti mata kuliah Magang sebagai syarat kelulusan. Selain syarat mendapat gelar, universitas juga ingin agar mahasiswa dapat belajar dahulu mengenai dunia kerja serta menerapkan ilmu yang mereka dapat di lapangan. Kemudian, mereka siap menyapa dunia korporasi setelah lulus.

Kenaikan fenomena magang bukan semata karena kewajiban universitas. Lantaran kewajiban mata kuliah Magang biasa diambil oleh mahasiswa semester 6–7, mahasiswa semester 3–4 pun berbondong-bondong mengikuti magang. Tidak jarang juga mahasiswa semester 1 meramaikan persaingan. Naiknya minat akan magang berkorelasi erat dengan pandemi. Pandemi mendorong perusahaan menetapkan kebijakan work from home (WFH) yang menyebabkan setiap pekerja (dengan aturan tertentu) bisa menyelesaikan pekerjaannya dari rumah, tak terkecuali anak magang. Magang yang dilakukan secara WFH memudahkan anak magang dalam mengerjakan tugasnya. Mereka tidak perlu pusing memperhitungkan estimasi waktu perjalanan dari kampus ke perusahaan karena semua dapat dikerjakan dari rumah. Tidak jarang juga perusahaan menawarkan jam kerja fleksibel. Tawaran yang diberikan serta motivasi mempercantik CV di masa pandemi menarik hati para mahasiswa dari berbagai semester untuk mengikuti magang.

Akan tetapi, apakah kebijakan WFH dan tawaran perusahaan menjadi faktor utama dalam naiknya fenomena magang? Tulisan ini tidak akan membahas perusahaan yang berusaha mengeksploitasi anak magang dengan iming-iming pengalaman dan networking tanpa memberikan upah. Tulisan ini berusaha untuk memahami apakah anak magang berhak mendapat upah dan apa yang menjadikan fenomena ini semakin naik di masyarakat.

Apakah Pemagang Harus Dibayar?

Di balik gelora prestasi LinkedIn yang berjejer, terdapat sisi gelap yang mulai naik ke permukaan. Pertanyaan setiap anak magang sekarang ini adalah,

“Apa saja hak yang saya dapatkan sebagai pemagang?”

dan yang terpenting,

“Apakah saya mendapat upah?’

Rupanya belum banyak yang mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai pemagang. Meskipun belum punya jam terbang tinggi seperti karyawan tetap, sebagai bagian dari perusahaan, anak magang juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengartikan Pemagangan sebagai bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Penyelenggaraan magang tidak dilakukan secara asal. Dalam pelaksanaannya, pemagang dan perusahaan membuat perjanjian tertulis yang berisi minimal hak dan kewajiban peserta magang dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri (Pemnaker Nomor 6 Tahun 2020) memperbanyak daftar isi dalam perjanjian tertulis tersebut. Selain menuliskan hak dan kewajiban peserta magang dan perusahaan serta jangka waktu pemagangan, perjanjian tertulis juga membahas mengenai program pemagangan dan besaran uang saku.  Jadi, pertanyaan “Apakah saya mendapat upah?” sudah terjawab dalam perjanjian tertulis yang diatur dalam Pemnaker Nomor 6 Tahun 2020. Meskipun upah di sini tidak sama dengan gaji melainkan uang saku yang besarannya sesuai dengan yang dijanjikan, pemagang berhak untuk mendapat bayaran dari kontribusinya kepada perusahaan.

Setelah mengetahui bahwa pemagang berhak mendapat uang saku, muncul lagi pertanyaan baru.

“Kalau jobdesc cuma bikin kopi ambil fotokopian, apa pantes dibayar?”

Pertanyaan ini muncul karena sayangnya, meski tidak semua, masih terdapat perusahaan yang menerapkan magang work from office (WFO) yang memberikan tugas seperti dua hal di atas. Tujuan magang sendiri tidak hanya senja-kopi-senja-kopi atau mencari recehan untuk membayar fotokopian, tapi juga untuk pengembangan diri baik dari segi soft skill maupun hard skill. Undang-undang mengatur bahwa perusahaan penyelenggara perlu menyusun program magang. Program magang mencakup nama program, tujuan, kompetensi, jangka waktu, persyaratan peserta, persyaratan pembimbing, dan kurikulum dengan mengacu pada Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK), atau Standar Kompetensi Kerja Internasional (SKKI). Jadi, jobdesc berupa membuatkan kopi atau mengambil fotokopian bukanlah agenda dari magang. Magang seharusnya jadi tempat pemagang untuk belajar, bukan sebaliknya.

Berapa “Harga” yang Harus Dibayar Anak Magang?

Sama halnya dengan akademik maupun kegiatan organisasi, ada “harga” yang perlu dibayar atas pengalaman dan uang saku yang anak magang peroleh. Pengorbanan tidak hanya meliput tenaga dan waktu, tetapi juga uang dan mental. Magang saat ini yang masih didominasi WFH memindahkan uang yang dipakai untuk transportasi pada perangkat teknologi. Perangkat yang mumpuni berbanding lurus dengan kelancaran kegiatan magang. Anak magang yang memiliki masalah dalam perangkatnya seperti memori laptop kurang atau jaringan buruk tentu perlu mengeluarkan kocek lebih banyak dibanding anak magang lain yang sudah memiliki fasilitas mencukupi. Uang saku yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) memaksa anak magang mengeluarkan dana mandiri untuk hal tersebut. Magang yang masih menetapkan WFO juga tidak kalah merogoh dompet. Masih banyak perusahaan yang telat dalam membayar uang saku bagi pemagang. Hal ini membuat pemagang perlu memutar otak untuk mendapatkan uang tambahan melalui kerja paruh waktu lain. Bukannya fokus “mengikuti magang” malah didapatkan masalah baru, yaitu “memenuhi kebutuhan ekonomi dengan mengikuti magang”. Belum ditambah dengan kewajiban membayar kebutuhan rumah. Banyaknya biaya yang dikeluarkan menyebabkan orang-orang yang kekurangan secara finansial menelan mimpinya menjadi AI (Anak Intern).

Fenomena ini berkaitan erat dengan Matthew Effect. Matthew Effect merupakan fenomena sosial ekonomi yang mana hanya orang-orang dengan privilege (hak istimewa) yang memiliki kesempatan lebih luas karena kondisi ekonominya. Hal tersebut menyebabkan banyak mahasiswa yang kurang beruntung secara ekonomi memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk melakukan magang karena adanya halangan ekonomi. Tidak semua orang memiliki tenaga dan waktu untuk melakukan pekerjaan dengan bayaran seadanya. Dalam persaingan kerja, pengalaman magang menjadi salah satu faktor diterima atau tidaknya job seeker. Makin sering ia mengikuti magang, maka makin tinggi peluangnya diterima menjadi karyawan. Bagaimana nasib mereka yang tidak bisa mengikuti magang karena halangan ekonomi? Mereka akan terus berada di status ekonominya yang sekarang karena peluangnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik terhalang oleh status ekonominya sendiri. Ironis, bukan? Inilah mengapa status dalam kelas sosial sulit diubah, karena akses atau kemiskinan struktural menahan individu untuk keluar dari statusnya dalam kelas sosial tersebut.

Jika kembali melihat aspek budaya dalam fenomena magang, kita akan disuguhi dengan budaya hustle culture atau gila kerja. Hustle culture merupakan glorifikasi jam kerja melebihi waktu yang ditetapkan untuk mencapai cita-cita profesional yang diimpikan. Dengan mengabaikan efek bagi kesehatan fisik maupun mental, yang penting adalah mencapai posisi puncak dalam dunia kerja. Inilah “harga” kedua dari fenomena magang, yaitu mental. Dahulu tidak terlalu terasa, tapi kini persaingan kerja yang kian ketat menyebabkan tekanan untuk “sukses” semakin nyata. Jika tidak menambah satu posisi baru dalam profil LinkedIn, serasa ada yang kurang. Bahkan, terdapat individu yang mengikuti magang di 3–6 tempat sekaligus.

Selain hustle culture, terdapat juga FOMO atau fear of missing out. Melihat orang lain mengikuti magang sana-sini, mendorong ia untuk melakukan hal yang sama. Membudidayakan hustle culture dan menciptakan TPAI (Tenaga Pembangkit Anak Intern). Keinginan membabi-buta untuk mencapai posisi atas menjadi kesempatan beberapa perusahaan untuk mengeksploitasi semangat mereka. Pemagang rela lembur demi mendapat pengakuan dari perusahaan terkait. Usaha-usaha ini beranak pinak menjadi burnout. Pemagang yang merupakan mahasiswa masih memiliki urusan lain dalam perkuliahan, seperti akademik atau organisasi. Banyaknya hal yang diurus dan minim waktu untuk beristirahat menghasilkan burnout. Tidak jarang juga menghasilkan masalah kesehatan lain seperti depresi dan kurangnya nilai diri. Menggantungkan nilai diri atau self-esteem pada pencapaian profesional menjadikan individu merasa gagal jika tidak mendapat “pencapaian”. Harga yang harus dibayar dalam mengikuti magang tidaklah “murah”, banyak pilihan yang perlu dikorbankan untuk mengikutinya.

Magang merupakan pengalaman menarik untuk menerapkan ilmu yang dipelajari pada dunia profesional. Iming-iming mendapat pekerjaan tetap juga kerap menjadikan magang pilihan untuk menaiki tangga karir. Dalam pelaksanaannya, pemagang memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, salah satunya adalah mendapatkan uang saku sebagai apresiasi atas kontribusinya pada perusahaan. Namun, apakah magang benar ada untuk semua? Terdapat harga uang dan mental dalam melakukan magang sekarang ini. Hal ini menjadikan magang belum inklusif untuk semua orang. Perlu kerja sama antara masyarakat dan perusahaan untuk menghapus sekat-sekat ini agar magang bisa dijadikan tempat belajar bagi setiap orang.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan pandangan Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Nikita Rosa Damayanti W. (FIB UI)
Ilustrasi: Rizal Taufiqurrafi
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi

A, Pradana Arasy. (2021). Apakah Magang Digaji?. Diakses melalui https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c9bc71e2237/apakah-magang-digaji.

Bothner, M. S., Podolny, J. M., Smith, E. B. (2011). Organizing contests for status: The Matthew effect vs. the Mark effect. Management Science, 57, 439-457.

Merton, R. K. (1968). The Matthew effect in science. Science, 159, 56-63.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri

Piezunka, H., Lee, W., Haynes, R., & Bothner, M. S. (2018). The Matthew Effect as an Unjust Competitive Advantage: Implications for Competition Near Status Boundaries. Journal of Management Inquiry, 27(4), 378–381. https://doi.org/10.1177/1056492617737712

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Wen, J., Cheng, Y., Hu, X., Yuan, P., Hao, T., & Shi, Y. (2016). Workload, burnout, and medical mistakes among physicians in China: A cross-sectional study. BioScience Trends, 10(1), 27–33. https://doi.org/10.5582/bst.2015.0117

Wong, K., Chan, A. H. S., & Ngan, S. C. (2019). The Effect of Long Working Hours and Overtime on Occupational Health: A Meta-Analysis of Evidence from 1998 to 2018. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(12), 2102. https://doi.org/10.3390/ijerph16122102