Babak demi Babak, Mengapa Satgas PPKS UI Undur Diri?

Redaksi Suara Mahasiswa · 6 Mei 2024
15 menit

Dari bilik jendela, cahaya lampu bulb 40 watt setia menyala sejak 7 jam yang lalu. Yoan tampak tenggelam dalam keseriusan menatap layar laptop. Ia berlomba dengan waktu, menahan rasa kantuk yang merambati kepala. Seiring tenggat tugas kuliah yang semakin dekat, ketukan jemarinya di atas keyboard terdengar lebih cepat.

Namun, secercah notifikasi yang menyembul di layar ponsel memecah kekhusyukannya. Tidak lama, dering panggilan ponselnya menyusul datang, mendominasi Yoan untuk menghentikan aktivitasnya.

Usai menjawab panggilan, Yoan bergegas menutup layar laptopnya. Dengan berat hati, tugas yang harusnya dikumpulkan setengah jam kemudian pun ditinggalkannya.

Rasa kantuk yang sedari tadi menghantuinya pun terus dilawannya. Di saat bersamaan, Yoan harus kembali merajut energi yang terkuras untuk memenuhi panggilan “mendadak” tersebut, bahkan hingga sinar matahari kembali menampakkan diri.

Berbekal keinginan dan empati, sekali lagi Yoan melaksanakan tugasnya sebagai anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS UI), sembari tetap menjalani kesehariannya sebagai mahasiswa aktif di Kampus “Perjuangan”.

Situasi rangkap jabatan yang ia alami semacam ini jelas berbeda nasib dengan apa yang Rektor UI periode 2019–2024 pernah lakukan.

Tidak terelakkan baginya untuk harus pandai membagi waktu dengan jadwal perkuliahannya di samping mengabdi selama 24 jam sebagai bagian dari Satgas PPKS UI.

“Saat punya deadline (tugas), tapi harus nanganin kasus seperti itu sering banget sih, terjadi,” ungkap Yohanna Magdalena–atau kerap disapa Yoan, mantan anggota Satgas PPKS UI unsur mahasiswa bagian pendampingan korban pada Suara Mahasiswa UI (17/04).

Yoan tidak sendiri. Seperti dirinya, anggota Satgas lain yang bekerja sebagai tenaga kependidikan (tendik) maupun dosen juga mesti menjalankan peran ganda sekaligus. Namun, peran mahasiswa bukanlah suatu profesi yang mendapatkan upah sebagaimana dosen dan tendik.

Sebagai mahasiswa, para dosen di jurusannya memahami status ganda yang diemban Yoan. Mereka memberikan kelonggaran sehingga ia tidak harus merasa terbebani dengan ancaman pengurangan nilai jika terlambat menyelesaikan tugas. Sayangnya, kondisi yang sama belum tentu dirasakan oleh anggota Satgas unsur mahasiswa lainnya.

“Tapi aku enggak tahu juga kalau misalnya (mahasiswa) yang nanti masuk Satgas (berasal) dari fakultas yang mungkin dosen-dosennya enggak terlalu paham (perihal kerja Satgas PPKS), mungkin nanti nilainya bakal berkurang juga,”  terangnya, menegaskan kembali privilese yang dia dapat dari tugas yang ia emban.

Kini, Yoan dan kedua belas anggota lainnya tidak lagi bertugas. Edaran pengunduran diri mereka layangkan melalui kanal media sosialnya pada 1 April 2024 lalu, sebelum masa kepengurusan mereka berakhir di tahun ini.

Rilis Pengunduran Diri Satgas PPKS UI dalam Kanal Media Sosial Instagram @ppks.ui

Satgas PPKS UI Bubar, Salah Siapa?

Pilihan Satgas PPKS UI untuk mengundurkan diri bukan keputusan prematur. Ia sudah dipersiapkan sejak jauh hari sebagai opsi terakhir kala pihak kampus tidak lagi dapat mengakomodasi persoalan yang mereka hadapi.

“Memutuskan untuk mundur dari satgas itu keputusan yang berat menurut kami, ya. Pros (dan) cons-nya pasti sudah dipikirkan, dan barangkali, keputusan mereka untuk mundur itu memang akibat kewalahan. Karena (sebagaimana) yang kita tahu ya, satgas itu tidak bisa bekerja sendiri. Mereka perlu kolaborasi dari banyak pihak, termasuk dari pimpinan universitas,” tutur Eni Puji Utami, bagian dari KOMPAKS (Koalisi Muda Peduli Anti Kekerasan Seksual), dalam menanggapi keputusan yang dipilih oleh Satgas PPKS UI.

Berkaca pada situasi terkini, harapan untuk meningkatkan dan memperluas jangkauan ruang aman di wilayah kampus tampaknya meredup kembali.

Dalam upaya menguraikan kelindan akar permasalahan ini, terdapat beberapa alasan di balik keputusan pengunduran diri anggota Satgas yang turut merujuk pada tulisan Manneke Budiman, mantan Ketua  Satgas PPKS UI dalam The Conversation.

  1. Buramnya Kepastian Penganggaran

Ardiansyah Ardi, Koordinator Bidang Informasi dan Publikasi Biro Humas dan KIP UI, menjelaskan bahwa prosedur penganggaran Satgas PPKS di UI mesti melalui tahap pengajuan terlebih dahulu ke Biro Transformasi, Manajemen Risiko, dan Monitoring Evaluasi (TREM) UI sebagai unit yang menaunginya. Masa pengajuan tersebut berlangsung setahun sekali dan dilakukan pada awal tahun.

“Yang kemarin (pengajuan) terjadi di pertengahan tahun. Itulah kenapa kalau kalian merasa ada gesekan, di sini memang organisasinya masuk di tengah jalan. Untuk anggaran setahun kemarin kan, udah direncanakan di akhir tahun kan, udah ketok palu tuh, tapi ternyata ini baru terbentuk di pertengahan,” ujar Ardiansyah. Lain dengan pernyataan tersebut, dalam artikel CNN Indonesia, Kepala Kantor Humas dan KIP UI, Amelita Lusia mengaku bahwa memang sudah ada pengajuan anggaran untuk tahun 2023 sejak penetapan anggota Satgas PPKS UI periode 2022–2024 pada November 2022 lalu.

Ardiansyah pun menyatakan bahwa komitmen pihak kampus dalam menjalankan layanan PPKS ke depannya tidak usah dipertanyakan. Menurutnya, semua pihak memang berniat menjadikan UI lebih baik. Sayangnya, pengajuan biaya oleh Satgas PPKS mesti melewati sekat-sekat aturan yang tidak jarang membuat alurnya tersendat.

“Kalaupun mengeluarkan sejumlah biaya untuk expenses tertentu harus ada aturannya. Karena kan, kita ada manajemen risiko, manajemen keuangan, second line of defense, segala macam aturan yang dijalankan itu pasti akan beririsan dengan aturan yang lain. Kita pasti ada verifikasi dengan anggaran yang diajukan. Aturan lain juga bekerja di situ, audit keuangan, dan sebagainya. Aturan kita menyebabkan kita menjadi agak sempit bergerak karena sangat strict dengan aturan seperti itu,” terang Ardiansyah.

Mekanisme tersebut menggambarkan bahwa terdapat birokrasi yang rumit dan ketat perihal anggaran Satgas PPKS UI.

Berbicara tentang penganggaran, Amelita turut menyinggung terkait alur pemberian honor untuk Satgas PPKS UI. Merujuk pada keterangannya, remunerasi yang diberikan kepada setiap anggota Satgas ditentukan berdasarkan status lain yang sedang dimiliki di kampus.

“Termasuk tadi yang menjadi tim Satgas PPKS, semua aturannya kan, sama. Mahasiswa yang bekerja dianggap wirada, magang, atau apa? Kemudian tendik yang sudah punya penugasan sebelumnya, ketika ia menjadi (bagian dari) kepanitiaan ad hoc, dia statusnya sebagai apa? Remunerasinya seperti apa? Itulah yang dikembalikan ke aturan standar yang ada di UI,” terang Amelita.

Dari penjelasan yang diberikan, pihak kampus mengategorikan Satgas PPKS UI sebagai tim ad hoc, bukan sebagai unit pengabdian masyarakat seperti disarankan oleh Kemendikbud dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). “Kalau penanganan kasus kan, butuh waktu juga, ya. (Dalam) mendampingi (korban) juga takes time, tidak hanya takes money. Nah, mungkin ke depannya dosen (yang menjadi) anggota PPKS perlu diusulkan sebagai bagian dari pengabdian masyarakat,” tutur Indra, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia KemenPPPA saat diwawancarai oleh Suara Mahasiswa UI (19/03).

Perihal pembayaran honor, Amelita pun menyampaikan agar mengecek kembali ketentuan yang dimuat dalam Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK).

“Ada yang cuma dibayar berapa karena memang begitu aturan yang kami ikuti (dari) standar biaya umum dan standar biaya khusus. Ada yang namanya orang per bulan, orang per kegiatan, dan sebagainya. Itu coba dicek dulu. Mending mereka lihat SBU SBK,” tutur Amelita.

Ketika mencari SBU dan SBK UI yang dimaksud, hasil yang muncul di mesin penelusuran justru merujuk pada Standar Biaya Masukan (SBM) yang tertuang dalam Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 14 Tahun 2023.

Gambaran Standar Biaya Masukan (SBM) Honorarium untuk Satgas yang Dipandang Sebagai Tim Ad Hoc

Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa SBM merupakan standar biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan dan/atau untuk menghasilkan suatu keluaran (output) pada Rencana Kerja Anggaran (RKA) UI.

Ayu Lestari, Koordinator Survei dan Riset Satgas PPKS UI, memang mengakui bahwa honorarium terakhir untuk bulan Januari hingga Maret 2024 sudah diterima pada 3 April 2024. Akan tetapi, dengan statusnya sebagai tim ad hoc, Satgas PPKS UI mesti melakukan pengajuan terlebih dahulu untuk menerima hak pembayaran tersebut.

“Soal honorarium itu kan, kami tahunya terima beres setiap bulannya. (Rupanya) kami harus mengajukan sendiri kalau kami mau dikasih honorarium. Kalau tidak, ya tidak diurusin,” ungkap Ayu kepada Suara Mahasiswa UI (02/04).

“(Sistem) itu membuat kami berpikir, ‘kok, kami sebagai pekerja harus mengemis kepada pimpinan untuk honorarium yang sebenarnya sudah menjadi hak standar kami?” tanyanya merasa heran.

Meninjau keterangan yang diberikan oleh Amelita dan Ardiansyah, mekanisme penganggaran yang tidak sederhana tampaknya menjadi hambatan bagi keberlangsungan Satgas PPKS UI.

“Kalau di UI birokrasi keuangannya sangat menyulitkan. Walaupun misalnya, kami sudah membuat laporan bulan Januari sampai bulan Maret, itu pun kadang belum keluar tuh, dananya,” tutur Elizabeth Kristi Poerwandari, mantan Kepala Bidang Penanganan Satgas PPKS UI (20/03).

Setelah dipindahkan ke bawah naungan TREM, untuk pertama kalinya, Manneke sebagai Ketua Satgas PPKS UI sempat dihubungi langsung oleh Wisnu, Kepala TREM UI. Wisnu berencana untuk mengadakan rapat bersama Satgas PPKS UI dan pihak-pihak terkait. “Tapi, terus terang aja, kami sudah melihat enggak ada gunanya kita rapat dengan pihak-pihak terkait kalau mereka tidak (kunjung) mengambil keputusan. Bagi kami, pengambil keputusan utama yang harusnya bisa mempermudah birokrasi itu Rektor dan Warek II. Rapat-rapat di level bawah enggak ada manfaatnnya kalau yang di atas enggak ngasih jalan,” ungkap Kristi merespons ajakan Wisnu.

“(Oleh karena itu), kami bersedia untuk rapat itu hanya jika kami bertemu dengan Rektor dan Wakil Rektor II Bidang Keuangan dan Logistik (Vita Silvira) karena mereka yang mengambil tanggung jawab dan (memberikan) usulan untuk memperlancar birokrasi,” tambahnya.

Alhasil, lebih banyak dana yang dikeluarkan oleh Satgas PPKS UI secara pribadi dibandingkan dana yang diperoleh dari pihak kampus.

“Untuk keperluan medis, misalnya, visum itu dari dana pribadi Satgas karena kalau mengajukan itu enggak tahu berapa bulan baru cair, sedangkan visum itu kan (bersifat) darurat. (Jika) kami enggak megang uang cash untuk operasional sama sekali dari pimpinan untuk kebutuhan sehari-hari, bagaimana kami bisa membiayai korban?” tutur Ayu menyayangkan kendala yang mereka hadapi.

“Bahkan, saat menerima tamu, konsumsinya dari dana pribadi Satgas. Sebagian dibantu oleh Biro Legislasi dan Layanan Hukum (BLLH) UI. Kami berterima kasih sekali pada BLLH yang sudah menjadi mitra kami dari awal, selalu membantu,” tambahnya.

Terkait dana pribadi yang dikeluarkan ini, Kristi mengaku bahwa pihak kampus tidak memberlakukan sistem reimburse.

“(Sejauh ini), tidak ada reimburse, sih. Oke, kita dapat gaji. (Namun, gaji) itu kita pakai untuk macam-macam. Misalnya, beli aqua gelas dan hal-hal lain. Lalu, ada mahasiswa yang butuh obat atau vitamin kan, itu dari gaji atau honor (Satgas),” ungkapnya. Permasalahan ini pun disampaikan Ayu melalui chat (23/04) bahwa belum ada panduan terkait sistem reimburse ini.

Kekosongan mekanisme reimburse ini dirasa ikut memengaruhi praktik pencegahan yang akhirnya tidak banyak dilakukan oleh Satgas PPKS UI karena kendala tersebut.

“Kalau tentang uang yang di program itu, misalnya untuk bikin edukasi, sosialisasi, itu ada dana yang kita ajukan. Untuk itu sih, malah belum keluar dananya. Buat ngurusin yang honor aja kayaknya ribet,” ujar Kristi.

Kenyataan inilah yang menjadi salah satu pengantar Satgas PPKS UI pada keputusan untuk mengundurkan diri.

“Ketika birokrasi tidak dibuat lebih simpel, berarti tidak ada dukungan dari pimpinan,” tambah Kristi.

Indra sebagai bagian dari KemenPPPA turut menyayangkan kondisi birokrasi pendanaan yang berlaku di UI. Padahal, dari 16 universitas yang menerapkan peraturan rektor turunan dari Permendikbud, UI menjadi satu dari tiga kampus yang mencantumkan aspek penganggaran di dalamnya, selain Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga.

“Pernah juga ada salah satu ketua satgas, kalau enggak salah di UNPAD (menyampaikan bahwa ternyata), makin banyak nih, yang pada melaporkan, termasuk ada juga guru besar yang juga diadukan. Jadi, banyak teman-teman yang melihat, sih, meskipun enggak ada penganggaran, sepertinya masih running, mungkin mereka tetap di-support ya, sama universitasnya,” jelas Indra. “Kami berharap sih, pimpinan dari puncaknya (Rektor dan para pembantu Rektor) itu juga mendukung pelaksanaan tugas Satgas PPKS yang selama ini mungkin lebih banyak voluntary. Lebih banyak pada pengabdian ya, yang saya rasa,” tambahnya.

2. Minimnya Sarana dan Prasarana Pendukung

Kerja-kerja pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang dari awal sudah berat, menjadi kian berat bagi Satgas PPKS UI akibat minimnya sarana dan prasarana yang mendukung operasional. Seperti yang dijelaskan oleh Ayu, anggota Satgas PPKS UI unsur tenaga kependidikan (tendik), bahwa selain mengerjakan tugas utama (pencegahan dan penanganan), mereka juga mesti mengerjakan semua beban administratif.

“Urusan administratif itu justru menambah beban Satgas yang sudah ada kerjaan banyak kasus kekerasan seksual. Oke, ada staf admin (red–administrasi), tapi kan, staf admin tersebut juga bergantung kepada kami karena data-data yang dibutuhkan itu perlu persetujuan kami. Ujung-ujungnya juga kami yang mengerjakan (urusan administratif tersebut),” ujar Ayu.

Sarana prasarana yang dimiliki Satgas juga kurang baik. Sebut saja mulai dari perihal ruangan untuk operasional. Satgas mendapatkan ruangan operasional yang kurang layak, mulai dari dinding yang tidak kedap suara, luasnya yang hanya satu petak, dan tidak adanya kamera pengawas. Penjagaan keamanan pun minim. Satgas pernah mengalami serangan fisik dan sialnya tidak ada Petugas PLK (Pengamanan Lingkungan Kampus) yang berjaga sehingga Satgas harus mencari-cari keluar.

“Kalau ada lalu-lalang orang (di depan ruangan Satgas), ya oke, lah. Itu nggak terlalu masalah, tapi ruangannya itu tidak kedap suara. Ruangannya sempit untuk tempat kerja 13 orang ditambah 1 staf admin. Belum lagi jika ada pemeriksaan. Itu ruangan bisa dibilang (ruangan) terpengap. Udah gitu pintunya rusak. Intinya, ruangannya kurang layak untuk kondisi penanganan kasus,” keluh Ayu.

Absennya peran universitas dalam menyediakan ruang operasional yang layak bagi Satgas PPKS UI juga diungkap oleh media The Conversation yang menyatakan bahwa Peraturan Rektor PPKS UI itu sebenarnya mencantumkan adanya Pusat Penanganan Terpadu (PPT) yang harus disediakan dan dikoordinasi oleh rektorat untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan terkait penanganan kasus. Sayangnya, PPT hanyalah pernyataan di atas kertas tanpa realisasi.

Selain perihal ruangan, kurangnya fasilitas Satgas PPKS UI juga dirasakan dalam hal penyediaan konselor bagi pelapor dan terlapor. Satgas PPKS UI selama ini menyediakan konseling dengan bantuan swadaya dari tim konselor Fakultas Psikologi dan beberapa relasi dari anggota Satgas PPKS UI unsur dosen.

“Waktu itu ada beberapa orang (pelapor dan terlapor) yang butuh layanan psikiatri, tidak lagi hanya psikologi. Maksudnya, benar-benar harus dokter spesialis kejiwaan. Nah, itu kami dapat dari relasi dosen. Jadi, beruntungnya mereka dengan baik hati memberikan jasanya secara cuma-cuma dan kami dari awal sudah transparan bahwa kami tidak bisa menyediakan apapun,” tutur Ayu.

Selain bantuan sukarela dari Fakultas Psikologi, Satgas PPKS UI selama ini juga menerima bantuan dari Biro Legislasi dan Layanan Hukum (BLLH) UI. Misalnya, pada penyediaan ruangan untuk menjamu tamu penting.

Kendati terdapat bantuan-bantuan yang datang, Satgas PPKS UI tidak bisa selalu mengandalkan bantuan dari pihak eksternal seperti unit-unit kerja atau fakultas-fakultas yang ada di UI. Misalnya saja, Satgas pernah meminta bantuan ke beberapa unit di kampus, tetapi mereka tidak berkenan karena belum ada kontrak oleh pihak UI. Alhasil, unit-unit tersebut tidak bisa menyediakan secara cuma-cuma karena belum merasa ada kontrak maupun tidak ada koordinasi apapun dari pimpinan universitas.

Kondisi ini menjadi ironi sebab keperluan tersebut semestinya dapat difasilitasi oleh jajaran pimpinan di Kampus “Perjuangan”, alih-alih Satgas PPKS yang harus kewalahan mencari-cari sendiri ke pihak-pihak lain.

“Mereka (pimpinan kampus) kan, harusnya mengerti ya, akan peraturan rektor yang mereka buat sendiri. Setidaknya, dari awal pembentukan Satgas, (kalau) sudah tahu mau ada Satgas, ya anggarannya disediakan sedari awal. Antisipasi dari awal. Tapi kan, nyatanya enggak. Ya sudah, dibentuk saja, habis itu ditelantarkan,” keluh Ayu menyayangkan hal-hal penting yang justru diabaikan oleh pihak otoritas kampus.

Kalau kami setidaknya diringankan secara administratif, mungkin kami akan mempertimbangkan kembali keputusan untuk mundur. Karena beban kerja kami sudah di luar kapasitas. Jadi, kami akhirnya memutuskan untuk ‘ngapain juga kita lanjut?’, kalau memang tidak ada komitmen nyata dari UI sebagai pengambil kebijakan. Semua (fasilitas, sarana, dan prasarana) itu (malah) harus inisiatif pribadi pihak Satgas PPKS UI, misalnya (dalam hal) penyediaan konselor,” ujarnya menambahkan.

Namun, Ardiansyah menyatakan bahwa apapun permintaan dari Satgas, tupoksi humas adalah akan menjalankannya. Mengenai urusan ruangan operasional Satgas, mereka menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tupoksi Direktorat Operasi dan Pemeliharaan Fasilitas. “Organisasi yang didirikan oleh SK Rektor UI itu bisa menggunakan fasilitas UI dengan tanpa biaya. Sebenarnya, SK itu untuk memanfaatkan segala fasilitas UI yang ada. Karena mereka (Satgas PPKS UI) berdiri berdasarkan SK Rektor. Jadi, kalau ada permintaan, pertanyaannya adalah, adakah permintaan yang ditolak?” ujar Ardiansyah.

Jadi, ketika ada permintaan misalnya, ‘wah, kita enggak punya ruangan’, kita support kan, dari UI diberikan ruangan. Kemudian, terkait dengan ‘kita butuh ke luar’, ‘ada biaya untuk meng-interview’, atau apapun, silakan. Yang penting ada laporan untuk pertanggungjawaban kalau mereka mau klaim. Semua ini sudah dijelaskan ke mereka. Karena sifatnya (ad hoc), kami pun di sini kalau ada acara atau kepanitiaan ad hoc, pasti ada suatu aturan yang kami taati,” lanjut Ardiansyah.

3. Rendahnya Perlindungan Terhadap Satgas PPKS UI

Pasal 37 Permendikbud PPKS menyebutkan bahwa pihak perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang dari satgas. Di antara kewajiban tersebut, salah satu aspek yang akan menjadi perhatian khusus pada bagian ini adalah perlindungan keamanan bagi setiap anggota satuan tugas.

Sayangnya, Yoan mengaku bahwa aspek tersebut belum kunjung dipenuhi oleh pihak kampus. Baginya, seperti halnya mengumpankan diri pada kobaran api, bertugas di Satgas PPKS UI membutuhkan banyak pengorbanan.

Ancaman terhadap anggota Satgas PPKS UI tidak hanya mengintai di ranah fisik, tetapi juga di ranah digital. Keamanan digital untuk Satgas PPKS UI ini sama sekali belum diakomodasi oleh pihak kampus.

“Sempat kayak harus ketemu dini hari atau subuh-subuh karena korbannya saat itu lagi dikejar-kejar (pelaku). Terus, sempat ada pemeriksaan offline yang membahayakan anggota Satgas secara fisik. Terus, ada juga anggota yang sampai diteror di medsos, (sehingga) membahayakan diri anggota saat itu. (Hal ini) enggak cuma (terjadi) sekali,” tutur Yoan.

Ia juga menyampaikan bahwa perlindungan yang ada harus diperolehnya sendiri, tanpa diakomodasikan oleh pihak kampus secara langsung. “Bahkan, (perlindungan) kayak ini kita harus minta tolong PLK. Bukan sebagai (anggota Satgas) PPKS, tapi koneksi pribadi aja kita kenal PLK siapa gitu,” ungkap Yoan.

Keterbatasan pilihan ini juga menyeret persoalan perlindungan dan keamanan Satgas PPKS UI di ranah digital.

Malang tak dapat dibendung, Yoan mengakui bahwa saat salah satu anggota menjadi korban kejahatan siber, bantuan itu malah didapatkan melalui pihak fakultas korban.

“Ketika ada (anggota satgas PPKS) yang sampai di-chat di semua medsos-nya, kita melapor ke fakultasnya (korban), (tapi hanya) sebagai mahasiswa fakultas tersebut. Kita enggak tahu lagi harus ngapain karena dari rektorat gak akan nyelesain (kasus ini). Jadi, yang kita pikirkan adalah lapor aja ke dekanat,” ungkap Yoan, pesimis dengan pihak kampus dalam menangani kasus serangan digital.

Untuk korban saja mereka nggak peduli, apalagi untuk anggota satgas. Kita enggak dapat apa-apa sama sekali untuk itu (keamanan dan perlindungan digital),” tambahnya.

Berkaitan dengan hal ini, Eni menganggap bahwa ketersediaan keamanan untuk Satgas adalah suatu perwujudan dukungan dari kampus.

Dukungan itu (sebenarnya) enggak soal materi saja, melainkan juga keamanan,” tutur Eni.

Yoan menambahkan, semestinya perlindungan yang diberikan pada anggota Satgas turut meliputi perlindungan terhadap kesehatan psikis. Keterbatasan ini seolah-olah mengabaikan ancaman terhadap mental yang dimiliki oleh masing-masing Satgas PPKS UI. “Perlindungan tersebut juga seharusnya kan, melibatkan perlindungan terhadap kesehatan mental. Karena maksudnya, psikolog aja (tetap) butuh psikolog,” ucap Yoan.

4. Kekosongan Dukungan Moral terhadap Satgas

Selain dukungan dalam bentuk sarana prasarana, demi kelancaran operasional Satgas PPKS, dukungan moral juga sama pentingnya. Nahasnya, selain dukungan yang kurang dalam hal sarana prasarana, dukungan moral dari universitas juga minim diterima oleh Satgas PPKS UI.

Pekerjaan sebagai anggota Satgas PPKS adalah pekerjaan yang terbilang traumatis. Mereka berpotensi mengalami tekanan mental ketika sedang menjalankan tugas. Misalnya, saat mendalami kasus-kasus kekerasan seksual yang mengerikan atau saat diintimidasi oleh pihak terlapor. Untuk itu, sudah selayaknya Satgas PPKS mendapatkan bimbingan konseling psikologis untuk menjaga kesehatan mental mereka. Namun, lagi-lagi, dalam kebutuhan ini pun Satgas PPKS UI mesti menyediakan secara mandiri konselor untuk mereka sendiri.

“Satgas itu normalnya setiap 3 bulan sekali harus healing, harus terapi, untuk mengatasi stresnya sendiri. Dari dibentuknya Satgas pada November sampai sekarang, itu hanya pernah (melakukan konseling mandiri) sekali. Itu pun pakai konselor gratis yang mau (membantu meski) tidak dibayar karena kami tidak sanggup membayar konselor,” tutur Manneke.

“Mungkin pimpinan tidak mengerti mengenai dampak kepada kesehatan mental anggota Satgas,” duga Kristi.

Perlu dipahami bersama bahwa terdapat beberapa hak yang dimiliki oleh Satgas PPKS. Hal tersebut sudah diatur dalam Buku Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, mencakup pemulihan dari kelelahan emosional dan trauma lanjutan yang dialami Satgas, perlindungan dalam aktivitas kerjanya, fasilitas sarana dan prasarana dari perguruan tinggi untuk mendukung aktivitas kerja, serta peningkatan kapasitas kerja sebagai Satgas.

Bentuk ketidakpahaman pihak kampus terhadap pekerjaan Satgas PPKS juga terlihat pada sikap pihak kampus yang menempatkan Satgas PPKS UI sebagai tim ad hoc. Tim ad hoc adalah tim yang dibentuk untuk menjalankan program khusus dan hanya dalam jangka waktu tertentu. Padahal, pekerjaan Satgas PPKS adalah pekerjaan yang rutin. Satgas PPKS yang dianggap seperti tim ad hoc ini menyulitkan mereka dalam hal pencairan dana.

“Jadi, uang itu tidak akan diturunkan kalau enggak ada laporan-laporan kegiatan seperti kepanitiaan. Padahal, Satgas itu bukan unit ad hoc, tapi permanen, seperti unit-unit yang lain yang ada di UI. Tapi (sayangnya) mau mencairkan dana susahnya bukan main seperti panitia. Jadi, sudah pekerjaan utamanya sendiri betul-betul intens dan menghabiskan waktu, masih harus ngurusin administrasi-administrasi yang enggak masuk akal,” ujar Manneke.

Menanggapi protes Satgas PPKS yang dianggap ad hoc, Humas UI memberikan pernyataan bahwa, “Aturannya memang ad hoc, kok, tapi tidak tertulis di SK itu. Karena memang prinsipnya organisasi itu kalau ada tata laksananya masuk ke Ortala (Organisasi dan Tata Laksana), maka itu bukan ad hoc. Yang namanya ad hoc itu pendapatannya temporary, pembayarannya berupa honor. Kalau permanen, itu struktur organisasi namanya jabatan struktural.”

Di sisi lain, Ardiansyah sebenarnya mengakui bahwa terdapat perbedaan perspektif operasional ad hoc dalam praktiknya. Akibatnya, kerja ganda dari anggota Satgas PPKS pun tak terelakkan.

“PPKS ini agak berbeda. Dia menempatkan penugasan itu seperti ad hoc, tapi pada kenyataannya, operasionalnya itu seperti tugas rutin. Ini yang menjadi kendala. Kerjanya rutin, tapi yang mengerjakan ada mahasiswa, ada dosen, ada tendik. Sementara ini, antara pekerjaan fulltime dan parttime, di sini (jadi) agak ambigu,” ucap Ardiansyah.

Amelita turut menjelaskan bahwa permasalahan ini sedang dalam penatalaksanaan. Dalam penjelasannya, pihak kampus pun berencana untuk mengubah status Satgas PPKS UI sebagai suatu Unit Pelaksana Teknis (UPT).

“Sama dengan apa yang saya contohkan tadi ya, ada kepanitiaan wisuda (yang sama dengan) ad hoc, ada kepanitiaan dies natalis. Padahal kan, mungkin kalau kita jadi Satgas juga mungkin enggak seperti itu. Kita mungkin berbeda beban kerjanya. Itu yang sekarang kalau kalian lihat tadi di pengumuman, sedang ada proses penataan organisasi,” tuturnya.

“Iya, supaya tadi, antara ad hoc dan sebagainya bisa tepat, lah, treatment-nya terhadap fungsinya,” sambung Ardiansyah.

Baik Ardiansyah maupun Amelita kompak perihal dukungan yang diberikan oleh pihak UI terhadap Satgas PPKS. Mereka menyatakan dengan tegas bahwa UI memang mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh Satgas PPKS.

Karena model organisasi kita ini belum seperti yang mendekati ideal, jadi ada di pihak Satgas merasa seolah-olah tidak mendapat dukungan, di kita bilang kita sudah mendukung. Jadi, kita berharap ini bisa ditata lebih baik lagi. Mudah-mudahan Satgas selanjutnya bisa lebih baik lagi,” tutur Amelita.

Segala bentuk kekosongan dukungan moral kepada Satgas PPKS UI bisa ditarik mundur ke suatu pangkal masalah: absennya sosok Ari Kuncoro selaku Rektor UI. Kristi menyebutkan bahwa Satgas PPKS UI hanya butuh suatu “sapaan” dari pihak universitas. Mereka tidak perlu mendapatkan penghargaan dari universitas.

“Kami kan, aslinya (secara struktural) langsung di bawah rektor, tapi kami enggak pernah bertemu Rektor. Kami beberapa kali membuat surat untuk bertemu, tetapi tidak ada tanggapan,” keluh Kristi.

Melihat kosongnya dukungan moral oleh pimpinan kampus terhadap Satgas PPKS ini, Indra memberikan saran agar kerja-kerja PPKS oleh anggotanya–yang salah satunya merupakan dosen ini–perlu diusulkan sebagai bagian dari pengabdian masyarakat. Hal tersebut dapat menambahkan kredit bagi para unsur dosen.

“(Para unsur dosen ini tugasnya) tidak sebatas mengajar saja, tetapi juga melakukan penelitian, termasuk juga melakukan pengabdian masyarakat. Mungkin (usulan) itu akan menjadi salah satu insentif yang bagus juga kalau bisa dimasukkan,” saran Indra.

Usulan dari Indra ini perlu dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, mengingat hak yang diperoleh atas waktu dan energi yang dicurahkan untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai Satgas PPKS belum dielaborasi secara jelas. Buku panduan hanya mencantumkan bahwa Satgas berhak atas angka kredit pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat. Dampaknya, dukungan moral bagi Satgas PPKS di lingkungan perguruan tinggi, seperti halnya di Universitas Indonesia, belum dapat terealisasi secara merata.


Artikel ini adalah bagian pertama dari liputan serial #KampusGelapMata. Melalui seri reportase ini, Suara Mahasiswa UI menelusuri jalan terjal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Kampus “Perjuangan”, Universitas Indonesia.


Teks: Intan Shabira, Ghozi Akhsan Fatahillah

Ilustrasi: Atallah Rania Insyira

Editor: Siti Aura

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, Berkualitas!